Kafka memandang mushaf kecilnya. Digenggamnya benda mungil itu dengan erat. “Insya Allah, bersamamu kan kuhadapi apapun yang menerjangku” ucapnya sambil tersenyum. Di sebuah kamar seorang bujang, diatas sajadahnya, Kafka bersimpuh. Melakukan ritual khusus yang menjadikan ia sebagai salah satu pemenang di malam ini. Mengalahkan semua keinginannya untuk beristirahat berlebihan dan tidur semalaman. Hilanglah semua kelelahan yang mendera karena rutinitas ditempat kerjanya, tergantikan dengan sebuah sensasi kedamaian yang tak ia izinkan siapapun mengambil darinya.
Tadi siang, entah ada angin apa yang menyapa kantornya, tapi pekerjaan di kantornya begitu menggunung. Semua personil di kantornya terkena imbasnya. Tidak terkecuali dengan Kafka. Rasa lelah mendera di setiap inchi tubuhnya. “Bahkan sekedar untuk bernafas saja tidak bisa”, analogi yang ia gunakan untuk menggambarkan kondisi kantornya hari ini.Tak terhitung berapa banyak suplemen penambah tenaga yang dipesan teman-teman sekantornya pada office boy, sekedar untuk memberikan kekuatan extra untuk mengerjakan pekerjaan yang extra juga banyaknya. Melihat itu Kafka hanya tersenyum. Ia tidak menyalahkan teman-temannya. Toh ia juga pernah melakukan hal yang sama. Namun itu dulu. Kini semua berbeda.
***
Genap setahun sudah Kafka bekerja disana. Meninggalkan perusahaan tempat terakhir ia bekerja. Kondisi perekonomian perusahaan yang labil menjadikan Kafka sebagai salah satu dari sekian banyak karyawan yang di PHK. Berat awalnya. Tak terpikirnya sebelumnya hal ini akan terjadi. Namun kejadian ini jugalah yang akhirnya merubah total kehidupan Kafka. Bukankah tidak selamanya apa yang manusia anggap buruk baginya, buruk pula menurut Allah.
Kafka akhirnya diterima bekerja di perusahaan IT yang cukup elit. Tak ada yang istimewa pada perusahaan ini, perkiraan sementara Kafka. Namun ada satu hal yang akhirnya merubah pandangan Kafka. Siang itu, di satu rentang masa, saat matahari baru saja tergelincir tidak lagi tepat diatas kepala, seperti biasa Kafka masih berkutat di meja kerjanya. Kafka mendengar satu suara yang mengelus lembut syaraf pendengarannya. Dan otaknya pun sepakat bahwa suara itu memang pantas untuk dinikmati. Suara adzan itu terus menggema, memanggil mereka yang masih membutuhkan mihrab untuk mengadu. Mengadukan masalah, munajatkan doa...bukti kembalinya seorang hamba pada Sang Pencipta.
Air wudhu pun membasahi beberapa bagian tubuhnya, takbir diagungkan dan setelah beberapa saat lamanya salam pun terucap, tanda sempurnanya ibadah siang itu. Ada satu ajakan kuat dalam hatinya untuk mengambil Al-Qur’an di salah satu rak yang ada. Kafka tersadar bahwa masjid di kantornya ini begitu lengkap fasilitasnya. Satu keistimewaan lagi di kantornya yang membuat Kafka bersyukur. Sejenak lisannya pun membaca ayat-ayat cinta Sang Khalik itu. Surat Maryam yang dibacanya membawanya pada satu episode indah di kehidupan dua orang pilihan.
“Zakariyya berkata :,”Ya Tuhanku, bagaimana mungkin akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.”
“Tuhan Berfirman :”Demikianlah, “Tuhan berfirman,”Hal itu adalah mudah bagi-Ku...”
“Maryam berkata :”Bagaimana mungkin akan ada seorang anak laki-laki bagiku, sedangkan tidak pernah seorangpun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina”.
“Jibril berkata ;”Demikianlah. Tuhanmu berfirman,”Hal itu adalah mudah bagi-Ku”
Tidak dibutuhkan waktu yang lama bagi Kafka untuk merasakan indahnya isi kitab yang sedang dibacanya itu. Jiwanya pun bersenyawa dengan muatan-muatannya. Kesadarannya terhenyak dengan isi surat yang baru saja dibacanya. Kisah Zakariyya dan Maryam menyadarkannya akan satu hal yang selama ini dilupakannya. Bahwa sesuatu yang berat disisi manusia, adalah ringan di sisi Allah. Syukur membuncah dari hati Kafka.
Merasa sudah cukup dengan makan siang bagi jiwanya itu, Kafka pun hendak beranjak pergi. Namun pandangannya menangkap sesuatu yang terselip di Al-Qur’an yang tadi dibacanya. Selembar kertas polos, dengan satu pesan singkat tertulis disana. Sebuah pesan singkat yang mampu membuat jiwanya merasa malu dan membenamkan sifat egonya kedasar bumi yang paling dalam. “Jangan membaca Al-Qur’an hanya ketika kau mendapatkan masalah, bacalah Al-Qur’an karena ia adalah kitab sucimu”.
***
Di sela-sela istirahat siang di kantornya, Kafka punya kebiasaan baru. Membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi menu yang tak kalah sehatnya dengan menu makan siang dikantornya. Sehat bagi jiwanya. Al-Qur’an saku, dengan teks Arab dan terjemahan di halaman yang sama, benar-benar membantunya untuk terus bertahan dengan semua ujian hidup yang dihadapinya. Dan menu siang ini adalah Surat Anbiya yang ia selesaikan sampai ayat kesepuluh : “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” .
0 Responses to “KAFKA”