Sungguh…tulisan ini bukan untuk mengumumkan bahwa penulis adalah salah seorang dari sekian banyak peserta dalam komunitas tarbiyah. Juga bukan untuk mengatakan bahwa penulis (mungkin) punya keimanan yang begitu baik sehingga pantas jika peristiwa yang ditulis ini bisa terjadi. Bukan..bukan itu.. tulisan ini dibuat hanya untuk saling berbagi akan pengalaman, semoga bisa memberikan hikmah yang dapat mendekatkan diri kita pada Allah swt.
Malam itu, tepatnya 1 Agustus 2005. Magrib belum lama meninggalkan bumi, dan Isya sebentar lagi datang dengan keagungannya. Kulangkahkan kaki menuju toilet laboratorium tempatku berada sekarang. Kulakukan ritual suci sebelum menghadap sang Khalik. Kubasuh tangan seraya berdzikir pada-Nya, berharap dosa-dosa yang melekat bisa luntur. Kubasuh wajah dengan lantunan doa di hati, moga Allah meridhoi segala amalan selama ini. Tak lupa, kakiku yang sering khilaf. Ku mampirkan air pembersih dosa padanya hingga bersih dengan baik.
Selesai berwudhu kulangkahkan kaki menuju mushala. Isya belum juga menyapa ketika ku sudah berada disana. Sambil menunggu, kulantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Duhai rabbi..damainya. Sambil sesekali melirik jam di HP untuk memastikan apakah waktu isya sudah masuk atau belum. Mushala laboratorium ini memang terletak agak jauh dari lingkungan masyarakat sekitar, hingga wajar jika tidak terdengar suara adzan dari masjid lainnya.Ternyata menghabiskan beberapa halaman Qur’an telah membuatku terlewat dua menit dari waktu isya.
Sudah ada seorang lelaki yang sudah lebih dahulu berdiri shalat disana. Refleks aku sentuh pundaknya, memberitahu bahwa dia telah menjadi imam dan aku menjadi makmumnya. Sekian menit kami lewati di rakaat pertama, mulai kurasakan ada sesuatu yang aneh. Sang imam yang seharusnya melafazkan bacaan, tidak terdengar sedikitpun suaranya. Aku usir jauh-jauh gejolak gelisah di hati, berharap kekhusyuan ibadah ini tidak terganggu. Namun, ternyata aku memang harus berjuang keras agar gelisah ini tidak semakin menjadi-jadi. Sebabnya adalah ternyata rakaat kedua pun, sang imam tidak juga melafazkan bacaannya. Akhirnya kulewati dua rakaat isya pertama tanpa mendengarkan lantunan Al-Qur’an dari sang imam.
Selesai shalat isya, setelah berdzikir pada-Nya. Muncul keinginan untuk berbicara pada sang lelaki. Kuharap bisa memberikan sedikit penjelasan bahwa ada hal yang tidak ia sempurnakan ketika shalat isya tadi. Kulirik sang lelaki yang menjadi imamku tadi. ”Semoga Allah swt memberikan kesempatan padaku untuk berbicara padanya, minimal kenalan dengannya” hati kecilku bermunajat. Allah mendengar doaku, sang lelaki menoleh padaku dan mengulurkan tangannya. Kusambut baik ulurannya dengan tersenyum dan berkenalan padanya.
Darinya kuketahui siapa nama serta alasan -mengapa ia yang jarang kulihat di laboratorium ini- tiba-tiba bisa berada disana. Dia pun bertutur bahwa (kebetulan) dia sedang mampir untuk menjemput temannya yang juga sedang melakukan penelitian di laboratorium ini. Tanpa ditanya diapun bercerita bahwa dia juga mantan mahasiswa dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Terdengar sedikit keluhan (paling tidak itu yang aku tangkap) dari lisannya, tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan yang cocok baginya.
Kurangkai kalimat-kalimat penyemangat baginya (yang sebetulnya lebih cocok kalau ditujukan untukku). Kuingatkan padanya bahwa setiap mahluk sudah ditentukan rezekinya. Allah tidak mungkin salah atau lupa. Kuberikan juga penyemangat untuk terus berusaha mencari rezeki yang telah ditentukan oleh-Nya. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengatakan padanya apa yang mengganjal dalam hatiku, ” Mas..sebaiknya jika shalat Isya suaranya dilafazkan agar makmum bisa mendengar”. Sang lelaki itupun mengangguk dan meminta maaf.
Perbincangan kami berjalan normal sampai akhirnya sang lelaki itu tiba-tiba berkata ” Mas..damai ya jika kita ikut tarbiyah.”. Entah seperti apa tampangku saat itu, bingung plus kaget. Kenapa tiba-tiba tanpa didahului pembicaraan yang mengarah kesana, ia berkata seperti itu. Kutanyakan padanya ” koq bisa ngomong seperti itu..”. Ia pun menjawab” Iya..terlihat dari wajah mas..damai..” Ia pun bercerita bahwa dulu ia pun bagian dari komunitas ini. Hanya saja kesibukan dunia telah menariknya, larut dan terlanjur menikmatinya. Terdengar intonasi penyesalan dari penuturannya, betapa ia berharap agar kenangan-kenangan indah dulu, damai yang dulu sempat ada.. dapat ia rasakan lagi.
Tiba-tiba seorang wanita muda melirik dari pintu mushala dan memanggil sang lelaki. Ku duga bahwa dialah sang teman yang dari tadi ditunggu oleh sang lelaki. Kutanya pada sang lelaki :”Tunangannya ya mas..”. Sedikit kikuk dan gugup sang lelaki menjawab : ”InsyaAllah...”. sigap ku raih HP dan kucatat nomor yang bisa aku hubungi sekedar untuk menjalin silaturahim. Kututup dialog dengannya ” Mas... pintu untuk ikut tarbiyah selalu terbuka..”. Sang lelaki itupun tersenyum.
0 Responses to “Apakah TARBIYAH Membekas Di WAJAH?”