<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20262286\x26blogName\x3ddeepheart\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://punyahasan.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://punyahasan.blogspot.com/\x26vt\x3d1302758872242214304', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Hadiah untuk JIWA

Jiwa memeluk suaminya dari belakang. Didekapnya tubuh kukuh itu sambil berusaha menyelami apa yang sedang bergejolak di hatinya. Adek tidur saja duluan, lirih sang suami berkata, sambil berusaha menyembunyikan sisa-sisa tangis dalam suaranya. Sejenak Jiwa mendekap suaminya lebih erat, kemudian pergi beranjak tidur. Suaminya masih duduk bersila dengan damai di atas sajadah, mencoba untuk melanjutkan munajatnya. Malam ini Jiwa belajar dari sang suami tentang romantisme seorang Hamba dengan sang Pencipta.

Jiwa bernafas pelan. Nafas itu perlahan keluar dari paru-parunya seiring dengan dzikir yang ia lantunkan. Tubuhnya lelah. Matanya belum bisa ia pejamkan dengan sempurna. Teringat ia akan satu episode dalam kehidupan Fathimah, sang putri Nabi. Keletihan yang mendera akibat pekerjaan rumah tangga dan perjuangannya mengasuh si kembar, membuatnya merasa perlu untuk meminta seorang pembantu pada Ayahnya. Dan kini, Jiwa melakukan apa yang Sang Nabi pesankan pada putrinya. Tahmid dan Tasbih menjelang tidur dapat membantunya mengusir lelah yang mendera. Tak lama Jiwa pun perlahan terlelap.

***

Sepertiga malam terakhir, Jiwa terbangun. Sejenak ia menatap wajah sang suami yang masih terlelap dalam mimpinya. Guratan lelah jelas terukir dalam wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pernikahan adalah satu bentuk penjajahan bagi kaum wanita, Jiwa bilang tidak. Sebaliknya, Jiwa merasa bahwa pernikahannya adalah sesuatu yang membuat dirinya lebih sempurna. Andai seorang manusia boleh bersujud pada mahluk, maka Jiwa rela bersujud pada laki-laki disampingnya itu. Laki-laki yang telah mengorbankan banyak hal dalam hidupnya, hanya untuk seunggingan senyum dari bibir Jiwa. Jiwa ridha dengan semua yang diberikan oleh sang suami untuknya. Khawatir suaminya terbangun, dengan sangat pelan Jiwa bangkit dari tempat tidurnya.

Jiwa menyalakan lampu meja di salah satu sudut kamar apartemennya. Dibukanya satu buku yang cukup tebal. Sebuah buku yang sempat menjadi teman dekatnya untuk berbagi, saat sosok suami belum hadir. Di halaman pertama buku itu tertulis nama pemilik dan satu kalimat singkat ;

Jiwa Syakira
Perjalanan Menuju Sempurna



Halaman-halaman buku itu menjadi saksi perjalanan Jiwa menuju kesempurnaan diri. Saat-saat dimana ia baru saja dikabarkan bahwa ada seorang laki-laki yang berniat meminangnya. Kabar itu pula yang membuat Jiwa yakin bahwa semua pengetahuannya akan ilmu-ilmu pernikahan akan menemukan medan ujinya. Jiwa membaca kembali tulisan yang ia buat dua tahun lalu

2 November 2004, Saat bumi basah

Ry..Laki-laki itu datang. Dengan semua kesederhanaan diri yang ia miliki. Bersama Ustadz Rahman, dia menemuiku. Tak ada yang istimewa dari dirinya Ry..itu anggapanku sampai saat ini. Semua tentang dirinya biasa, sangat biasa bahkan. Tapi aku benar-benar tertegun dengan jawabannya Ry , ketika kutanya kenapa ingin menikah?. Singkat dia menjawab
“, Karena saya ingin menjadi lelaki yang bertanggungjawab, dengan semua makna yang terkandung dalam kata tanggungjawab.

Ry..aku suka dengan jawabannya. Pilihan kata yang baik dan intonasi suara yang mantap saat mengucapkannya berhasil menyakinkanku. Aku yakin bahwa itu adalah pengakuannya dari palung hatinya yang terdalam. Memang aku belum faham sepenuhnya, tapi jawabannya itu bagiku menjadi runtutan kata-kata yang menunjukkan siapa dia sebenarnya. Apakah benar ia yang akan menjadi pendampingku kelak ya Ry?? Seseorang yang akan menjadi imam bagi hidupku, seseorang yang akan menjadi pelengkap sayapku dan membantuku terbang menuju surga-Nya. Karena aku ingin pernikahan ini tidak berakhir di dunia ry , tapi berakhir di surga. Bahkan sejujurnya aku enggan dengan kata berakhir.
Semoga Allah memberikan petunjuk untukku. Aku diberikan waktu beberapa hari lagi untuk memutuskan Ry.

Dah dulu ya Ry, kau yang pertama kali tahu akan jawabanku padanya.


Semuanya berjalan lancar. Istikharah yang Jiwa lakukan akhirnya berbuahkan satu jawaban. Kemantapan hati serta dukungan dari dua keluarga menemani langkahnya. Jiwa yakin bahwa jawaban dari Allah akan istikharahnya tidak hanya disampaikan lewat mimpi, tapi juga dari kemudahan semua urusan yang ia temui selama proses berlangsung Ya Rabb..izinkan diri ini bersyukur pada-Mu , munajat Jiwa saat itu.

Kini, dua tahun sudah umur pernikahan mereka. Dan sang suami membuktikan ucapannya. Ia lelaki yang bertanggungjawab, dengan semua makna yang terkandung dalam kata tanggungjawab. Harapannya mendapatkan suami yang bisa menjadi teladan baginya, terbayar dengan sempurna. Kondisi keislaman sang suami pun meningkat pesat dibandingkan masa-masa awal pernikahan mereka, Jiwa yang lebih sering membetulkan bacaan qur’an sang suami yang kadang masih salah. Jiwa tahu bahwa ketika dulu ia menerima pinangan lelaki itu, suaminya bukanlah seseorang yang mempunyai track record keislaman yang membanggakan. Hanya jaminan dari Ustadz Rahman yang menyakinkan Jiwa bahwa lelaki itu adalah lelaki yang baik. Dua tahun sudah berlalu dan bacaan quran sang suami sudah baik, bahkan hafalan quran sang suami jauh melampaui hafalan Jiwa.

Jiwa menatap keluar melalui dinding kaca apartemennya. Berdiri di sana memandangi langit Jakarta di sepertiga malam terakhir. Tak henti-hentinya Jiwa bersyukur pada sang Pencipta. Syukur itu ia hadirkan dengan segenap hati dan lisannya. Dulu ia beranggapan bahwa tak ada cara lain untuk menyakinkan pendamping hidupnya kelak adalah sosok yang baik, kecuali dengan menjadikan dirinya sendiri baik terlebih dahulu. Perjuangan Jiwa ketika masih lajang dalam menjaga diri dan hati sebagai seorang muslimah kini berbalaskan sesuatu yang indah. Kehadiran lelaki shalih dalam kehidupannya menjadi hadiah paling menakjubkan baginya. Ini lebih dari cukup ya Rabb.., satu suara terucap dalam hati Jiwa.

***

[pict from deviantart.com]




© 2006 deepheart | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health