<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20262286\x26blogName\x3ddeepheart\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://punyahasan.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://punyahasan.blogspot.com/\x26vt\x3d1302758872242214304', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

KAFKA

Kafka memandang mushaf kecilnya. Digenggamnya benda mungil itu dengan erat. “Insya Allah, bersamamu kan kuhadapi apapun yang menerjangku” ucapnya sambil tersenyum. Di sebuah kamar seorang bujang, diatas sajadahnya, Kafka bersimpuh. Melakukan ritual khusus yang menjadikan ia sebagai salah satu pemenang di malam ini. Mengalahkan semua keinginannya untuk beristirahat berlebihan dan tidur semalaman. Hilanglah semua kelelahan yang mendera karena rutinitas ditempat kerjanya, tergantikan dengan sebuah sensasi kedamaian yang tak ia izinkan siapapun mengambil darinya.

Tadi siang, entah ada angin apa yang menyapa kantornya, tapi pekerjaan di kantornya begitu menggunung. Semua personil di kantornya terkena imbasnya. Tidak terkecuali dengan Kafka. Rasa lelah mendera di setiap inchi tubuhnya. “Bahkan sekedar untuk bernafas saja tidak bisa”, analogi yang ia gunakan untuk menggambarkan kondisi kantornya hari ini.Tak terhitung berapa banyak suplemen penambah tenaga yang dipesan teman-teman sekantornya pada office boy, sekedar untuk memberikan kekuatan extra untuk mengerjakan pekerjaan yang extra juga banyaknya. Melihat itu Kafka hanya tersenyum. Ia tidak menyalahkan teman-temannya. Toh ia juga pernah melakukan hal yang sama. Namun itu dulu. Kini semua berbeda.

***

Genap setahun sudah Kafka bekerja disana. Meninggalkan perusahaan tempat terakhir ia bekerja. Kondisi perekonomian perusahaan yang labil menjadikan Kafka sebagai salah satu dari sekian banyak karyawan yang di PHK. Berat awalnya. Tak terpikirnya sebelumnya hal ini akan terjadi. Namun kejadian ini jugalah yang akhirnya merubah total kehidupan Kafka. Bukankah tidak selamanya apa yang manusia anggap buruk baginya, buruk pula menurut Allah.

Kafka akhirnya diterima bekerja di perusahaan IT yang cukup elit. Tak ada yang istimewa pada perusahaan ini, perkiraan sementara Kafka. Namun ada satu hal yang akhirnya merubah pandangan Kafka. Siang itu, di satu rentang masa, saat matahari baru saja tergelincir tidak lagi tepat diatas kepala, seperti biasa Kafka masih berkutat di meja kerjanya. Kafka mendengar satu suara yang mengelus lembut syaraf pendengarannya. Dan otaknya pun sepakat bahwa suara itu memang pantas untuk dinikmati. Suara adzan itu terus menggema, memanggil mereka yang masih membutuhkan mihrab untuk mengadu. Mengadukan masalah, munajatkan doa...bukti kembalinya seorang hamba pada Sang Pencipta.

Air wudhu pun membasahi beberapa bagian tubuhnya, takbir diagungkan dan setelah beberapa saat lamanya salam pun terucap, tanda sempurnanya ibadah siang itu. Ada satu ajakan kuat dalam hatinya untuk mengambil Al-Qur’an di salah satu rak yang ada. Kafka tersadar bahwa masjid di kantornya ini begitu lengkap fasilitasnya. Satu keistimewaan lagi di kantornya yang membuat Kafka bersyukur. Sejenak lisannya pun membaca ayat-ayat cinta Sang Khalik itu. Surat Maryam yang dibacanya membawanya pada satu episode indah di kehidupan dua orang pilihan.

“Zakariyya berkata :,”Ya Tuhanku, bagaimana mungkin akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.”

“Tuhan Berfirman :”Demikianlah, “Tuhan berfirman,”Hal itu adalah mudah bagi-Ku...”


“Maryam berkata :”Bagaimana mungkin akan ada seorang anak laki-laki bagiku, sedangkan tidak pernah seorangpun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina”.

“Jibril berkata ;”Demikianlah. Tuhanmu berfirman,”Hal itu adalah mudah bagi-Ku”

Tidak dibutuhkan waktu yang lama bagi Kafka untuk merasakan indahnya isi kitab yang sedang dibacanya itu. Jiwanya pun bersenyawa dengan muatan-muatannya. Kesadarannya terhenyak dengan isi surat yang baru saja dibacanya. Kisah Zakariyya dan Maryam menyadarkannya akan satu hal yang selama ini dilupakannya. Bahwa sesuatu yang berat disisi manusia, adalah ringan di sisi Allah. Syukur membuncah dari hati Kafka.

Merasa sudah cukup dengan makan siang bagi jiwanya itu, Kafka pun hendak beranjak pergi. Namun pandangannya menangkap sesuatu yang terselip di Al-Qur’an yang tadi dibacanya. Selembar kertas polos, dengan satu pesan singkat tertulis disana. Sebuah pesan singkat yang mampu membuat jiwanya merasa malu dan membenamkan sifat egonya kedasar bumi yang paling dalam. “Jangan membaca Al-Qur’an hanya ketika kau mendapatkan masalah, bacalah Al-Qur’an karena ia adalah kitab sucimu”.

***

Di sela-sela istirahat siang di kantornya, Kafka punya kebiasaan baru. Membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi menu yang tak kalah sehatnya dengan menu makan siang dikantornya. Sehat bagi jiwanya. Al-Qur’an saku, dengan teks Arab dan terjemahan di halaman yang sama, benar-benar membantunya untuk terus bertahan dengan semua ujian hidup yang dihadapinya. Dan menu siang ini adalah Surat Anbiya yang ia selesaikan sampai ayat kesepuluh : “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” .

Apakah TARBIYAH Membekas Di WAJAH?


Sungguh…tulisan ini bukan untuk mengumumkan bahwa penulis adalah salah seorang dari sekian banyak peserta dalam komunitas tarbiyah. Juga bukan untuk mengatakan bahwa penulis (mungkin) punya keimanan yang begitu baik sehingga pantas jika peristiwa yang ditulis ini bisa terjadi. Bukan..bukan itu.. tulisan ini dibuat hanya untuk saling berbagi akan pengalaman, semoga bisa memberikan hikmah yang dapat mendekatkan diri kita pada Allah swt.



Malam itu, tepatnya 1 Agustus 2005. Magrib belum lama meninggalkan bumi, dan Isya sebentar lagi datang dengan keagungannya. Kulangkahkan kaki menuju toilet laboratorium tempatku berada sekarang. Kulakukan ritual suci sebelum menghadap sang Khalik. Kubasuh tangan seraya berdzikir pada-Nya, berharap dosa-dosa yang melekat bisa luntur. Kubasuh wajah dengan lantunan doa di hati, moga Allah meridhoi segala amalan selama ini. Tak lupa, kakiku yang sering khilaf. Ku mampirkan air pembersih dosa padanya hingga bersih dengan baik.

Selesai berwudhu kulangkahkan kaki menuju mushala. Isya belum juga menyapa ketika ku sudah berada disana. Sambil menunggu, kulantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Duhai rabbi..damainya. Sambil sesekali melirik jam di HP untuk memastikan apakah waktu isya sudah masuk atau belum. Mushala laboratorium ini memang terletak agak jauh dari lingkungan masyarakat sekitar, hingga wajar jika tidak terdengar suara adzan dari masjid lainnya.Ternyata menghabiskan beberapa halaman Qur’an telah membuatku terlewat dua menit dari waktu isya.

Sudah ada seorang lelaki yang sudah lebih dahulu berdiri shalat disana. Refleks aku sentuh pundaknya, memberitahu bahwa dia telah menjadi imam dan aku menjadi makmumnya. Sekian menit kami lewati di rakaat pertama, mulai kurasakan ada sesuatu yang aneh. Sang imam yang seharusnya melafazkan bacaan, tidak terdengar sedikitpun suaranya. Aku usir jauh-jauh gejolak gelisah di hati, berharap kekhusyuan ibadah ini tidak terganggu. Namun, ternyata aku memang harus berjuang keras agar gelisah ini tidak semakin menjadi-jadi. Sebabnya adalah ternyata rakaat kedua pun, sang imam tidak juga melafazkan bacaannya. Akhirnya kulewati dua rakaat isya pertama tanpa mendengarkan lantunan Al-Qur’an dari sang imam.

Selesai shalat isya, setelah berdzikir pada-Nya. Muncul keinginan untuk berbicara pada sang lelaki. Kuharap bisa memberikan sedikit penjelasan bahwa ada hal yang tidak ia sempurnakan ketika shalat isya tadi. Kulirik sang lelaki yang menjadi imamku tadi. ”Semoga Allah swt memberikan kesempatan padaku untuk berbicara padanya, minimal kenalan dengannya” hati kecilku bermunajat. Allah mendengar doaku, sang lelaki menoleh padaku dan mengulurkan tangannya. Kusambut baik ulurannya dengan tersenyum dan berkenalan padanya.

Darinya kuketahui siapa nama serta alasan -mengapa ia yang jarang kulihat di laboratorium ini- tiba-tiba bisa berada disana. Dia pun bertutur bahwa (kebetulan) dia sedang mampir untuk menjemput temannya yang juga sedang melakukan penelitian di laboratorium ini. Tanpa ditanya diapun bercerita bahwa dia juga mantan mahasiswa dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Terdengar sedikit keluhan (paling tidak itu yang aku tangkap) dari lisannya, tentang betapa sulitnya mencari pekerjaan yang cocok baginya.

Kurangkai kalimat-kalimat penyemangat baginya (yang sebetulnya lebih cocok kalau ditujukan untukku). Kuingatkan padanya bahwa setiap mahluk sudah ditentukan rezekinya. Allah tidak mungkin salah atau lupa. Kuberikan juga penyemangat untuk terus berusaha mencari rezeki yang telah ditentukan oleh-Nya. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengatakan padanya apa yang mengganjal dalam hatiku, ” Mas..sebaiknya jika shalat Isya suaranya dilafazkan agar makmum bisa mendengar”. Sang lelaki itupun mengangguk dan meminta maaf.

Perbincangan kami berjalan normal sampai akhirnya sang lelaki itu tiba-tiba berkata ” Mas..damai ya jika kita ikut tarbiyah.”. Entah seperti apa tampangku saat itu, bingung plus kaget. Kenapa tiba-tiba tanpa didahului pembicaraan yang mengarah kesana, ia berkata seperti itu. Kutanyakan padanya ” koq bisa ngomong seperti itu..”. Ia pun menjawab” Iya..terlihat dari wajah mas..damai..” Ia pun bercerita bahwa dulu ia pun bagian dari komunitas ini. Hanya saja kesibukan dunia telah menariknya, larut dan terlanjur menikmatinya. Terdengar intonasi penyesalan dari penuturannya, betapa ia berharap agar kenangan-kenangan indah dulu, damai yang dulu sempat ada.. dapat ia rasakan lagi.

Tiba-tiba seorang wanita muda melirik dari pintu mushala dan memanggil sang lelaki. Ku duga bahwa dialah sang teman yang dari tadi ditunggu oleh sang lelaki. Kutanya pada sang lelaki :”Tunangannya ya mas..”. Sedikit kikuk dan gugup sang lelaki menjawab : ”InsyaAllah...”. sigap ku raih HP dan kucatat nomor yang bisa aku hubungi sekedar untuk menjalin silaturahim. Kututup dialog dengannya ” Mas... pintu untuk ikut tarbiyah selalu terbuka..”. Sang lelaki itupun tersenyum.




© 2006 deepheart | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health