<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20262286\x26blogName\x3ddeepheart\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://punyahasan.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://punyahasan.blogspot.com/\x26vt\x3d1302758872242214304', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Dicintai LANGIT, diterima BUMI

“Saya mulai kemarin sudah di Unila. Kemarin medical checkup. Besok senin ke rektorat dan jurusan. Hari ini saya diminta jadi pembicara...”

Sebuah sms masuk ke inbox handphone saya. Dari seorang teman yang selama ini berada di Malang. Seorang teman yang sampai saat ini belum pernah saya temui secara langsung, hanya melalui suara dan tulisan (sms dan email) kami merajut persaudaraan ini. Akhirnya, pengumuman itu keluar. Dia diterima sebagai dosen di Universitas Lampung (UNILA), dan FISIP UNILA akan menjadi medan baginya untuk berkarya selama beberapa tahun mendatang. Tidak disangka. Karena, menurut penuturannya sendiri, ia sendiri tidak terlalu serius untuk mempersiapkan ujian, apalagi Ia pergi dengan masih membawa hati yang hancur karena proses pernikahannya yang kandas.

Membaca sms itu, kekaguman mengalir di hati saya. Betapa tidak. Saya masih ingat akan penuturan orang-orang yang sempat mengenal, bertemu dan hidup bersama teman saya yang satu ini. Begitu banyak hal-hal superior dari kehidupannya yang saya dapatkan (tanpa berusaha untuk melebih-lebihkan). Diterimanya dia sebagai dosen di UNILA menjadikan saya dengan lega menambah lagi satu nama dalam anggota komunitas maya yang saya buat. Sebuah komunitas yang saya sebut sebagai komunitas yang Dicintai LANGIT Diterima BUMI. Berisikan orang-orang yang berhasil masuk kedalam dua dimensi yang begitu berbeda. Unsur Langit yang kental dengan nuansa akhirat, ibadah dan penghambaan - dan Unsur Bumi yang dekat dengan elemen-elemen fisik, sosial, dan prestasi-prestasi secara kasat mata.

Dicintai Langit, karena kedekatannya dengan masjid yang menjadikannya sebagai seorang santun, mewarnai kedua orangtuanya dengan akhlak islami, dan membawa teladan yang baik bagi kedua adiknya yang akhirnya mencoba untuk mengikuti jejaknya. Semoga dia bisa menjadi kebanggaan majelis-majelis langit karena tak pernah melupakan Tuhannya. Bukankah Allah akan membanggakan mahluk yang sering menyebut Asma-Nya di majelis-majelis langit. Dan ia pun diterima Bumi, satu anggapan yang ada dalam benak saya karena begitu mudahnya ia memperoleh prestasi-prestasi duniawi, pernah menjadi ketua sebuah kelembagaan eksekutif di kampusnya, penuturan dari lisannya menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh media massa di kota Malang (tak heran ia menjadi semacam icon perjuangan mahasiswa di kota Malang beberapa tahun silam), belum lagi catatan akademisnya sebagai mahasiswa yang begitu baik yang membuat para dosen yang mengujinya dengan rela mengakhiri sidang skripsinya tidak lebih dari 40 menit. Subhanallah

Sambil melanjutkan perjalanan yang sedang saya tempuh, saya kirim sebuah pesan balasan baginya dengan tambahan sebuah kutipan dari sebuah novel yang pernah saya baca.

“Majulah terus saudaraku, jangan biarkan kegelisahan menghambat jihadmu. Berjuanglah terus hingga datang malaikat yang mengatakan : Selamat Anda mendapatkan hadiah nobel karena telah mencintai Allah diatas segalanya”

TESTOSTERON Yang GELISAH

Sebutlah namanya Zaghi. Atlet basket ini sedang gelisah, segelisah bola basket yang ia pantulkan berulang-ulang ke lantai gymnasium tempat ia sekarang berada. Sendirian, ia lewati malam di tempat itu. Sudah dua jam pertandingan usai. Ingatannya kembali pada saat-saat pertandingan masih berlangsung. Zaghi melihat satu sosok di salah satu bangku penonton. Sosok yang dulu sempat mendatangkan kenangan ‘indah’ dalam hidupnya. Sebuah kerinduan diam-diam mengalir dalam hatinya. Kerinduan yang seharusnya tidak boleh ada. Dengan payah Zaghi melangkahkan kaki menuju ruang ganti. Pergumulan dalam batinnya tak kunjung reda. Pengenalannya kini yang semakin sempurna akan Islam tidak memberikannya tempat sedikitpun untuk menyimpan cinta sebelum ikatan suci pernikahan diikrarkan. Dengan keras..Zaghi meninju tembok dihadapannya. Satu cara yang biasa ia lakukan untuk mengusir kegelisahan. “Allah...inilah hamba-Mu yang berusaha mendekat kepada-Mu..ringankan langkah hamba Ya Rabb” Zaghi yang kini sedang rapuh itu menangis.

***

Karan gelisah. Peluh didahinya kian menambah kesan akan sesuatu yang dahsyat sedang berkecamuk dalam batinnya. Berbaring ditempat tidurnya, Karan menerawang. Dinginnya malam tidak mampu mengurangi gerah suasana hatinya. Kajian keislaman yang tadi sore diikutinya memberikan bekas yang sangat jelas. Disampaikan padanya janji-janji Allah akan pemuda yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. Betapa Karan sangat ingin mendapatkan kemuliaan itu. Saat yang sama Karan pun bergidik. Teringat ia akan ancaman Allah pada manusia-manusia yang memperturutkan hawa nafsunya. Karan membalikkan tubuhnya kekanan dan kekiri, masih gelisah. Kehidupan yang dijalaninya kini benar-benar mengujinya. Teman-teman wanita di lingkungan tempat ia bekerja kerap mengusik fitrah laki-lakinya. Ada harapan besar dalam hatinya untuk segera mengakhiri kesendiriannya. “Bidadariku...dimanakah kau saat ini?” hati kecilnya mengembara. Sebuah pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa. Karan pun membenamkan wajahnya dalam-dalam pada bantal untuk mengusir kegelisahannya.

***

Hembusan nafas Riffat terdengar berat. Terlihat jelas ia sedang gelisah. Betapa sulitnya hidup di kota seperti ini pikirnya. Baru saja ia menghadapi peperangan besar dalam jiwanya. Seorang wanita muda dengan pakaian minim duduk tepat dihadapannya, dalam angkutan kota yang ditumpanginya. Kecilnya ukuran angkutan kota ini membuat penumpang harus berhimpit dengan rapat, bahkan tidak jarang lutut harus bersentuhan dengan lutut penumpang didepannya. Mungkin karyawati bank swasta, pikir Riffat. Tapi dugaannya itu tidak membantunya sedikitpun . Rok mini yang dipakai wanita itu benar-benar membuatnya tidak tenang. Akhirnya, dengan sopan Riffat membentangkan koran yang dibawanya untuk menutupi lutut wanita itu, “Maaf ya Mba..!!” ucapnya. Perbuatan mengagumkan yang mendatangkan tatapan sinis penumpang lain khususnya yang laki-laki, tapi juga mendatangkan malaikat yang memberikan tepukan halus di pundak kanan Riffat. “Good job...!” malaikat itu berbisik.

***

Di tiga tempat yang berbeda. Tiga lelaki yang sempat dihinggapi kegelisahan, kini mulai tenang. Di tempat tidur mereka masing-masing, mereka menutup harinya. Entah bagaimana bisa terjadi, tiga lelaki yang tidak mengenal satu dengan yang lain mengucapkan doa yang sama “Ya Rabb..izinkan hamba menjadi lelaki shalih”. Serentak mereka menutup matanya.

Sesaat Bersama Sang Utusan

Ayo cepat…tunggu apa lagi…!”. Sosok tampan itu menarik lembut tanganku. Sedikit memaksa. Aku yang masih dalam keadaan bingung tanpa sadar mengikuti arah tarikan tangannya, dan berusaha bangun sekuat mungkin. ”Tapi kamu siapa?..kita mau kemana?...pakaianku...!” pekikku kecil. Tersadar bahwa aku masih dalam keadaan berpakaian santai, hanya baju koko dan celana panjang bahan yang tadi aku kenakan untuk shalat isya. Sosok itu tersenyum renyah : ” Tidak apa-apa...kamu terlihat santun koq dengan pakaian itu..ayo..!!”. Kuikuti langkahnya yang terasa cukup cepat. Setelah menutup pintu kamar kos-ku, masih dengan langkah cepat kucoba menyusul sang sosok yang belum sempat aku kenal.

Saya Afghan..!!” kusebutkan namaku sambil berusaha mencegat langkahnya, berharap bisa memulai perkenalan dengannya. ”Iya..saya tahu..Utsman Bin Affan menitipkan salam untukmu..Ayo akhi..cepat..kita sudah ditunggu.”, jawab sosok itu sambil menghindari tubuhku yang menghalangi langkahnya. Utsman bin Affan, sahabat nabi yang terkenal dengan sifat pemalunya. Kenapa sosok ini menyebut namanya. Dan dia bilang Utsman menitipkan salam untukku. Apa maksudnya. Kebingunganku semakin menjadi-jadi. Kuikuti terus langkahnya, entahlah kenapa aku bisa mengikuti keinginannya tapi yang pasti ada sesuatu yang membuatku merasa untuk percaya padanya.

Di sebuah lapangan kecil dekat kos-ku, tempat sosok itu mulai memperlambat langkahnya, sudah menunggu laki-laki sebaya denganku. Remangnya suasana malam tak kuasa menutupi cerahnya wajah dua laki-laki ini. Kulihat pakaian yang mereka kenakan, tak pernah kulihat pakaian pria seindah itu. ”Sudah siap akhi..” tanya sosok kedua. Laki-laki itu berdiri dihadapanku. Tanpa menunggu jawabanku, dengan tangan kirinya dia mendekap tengkuk leherku dan menutup kedua mataku dengan tangan kanannya. Sejuk dan harum... tangan itu menyentuh wajahku.

Sedetik kemudian, ia melepaskan kedua tangannya. ”Allahu Akbar...Subhanallah...” refleks kusebut asma-Nya. Kakiku gemetar pelan, selaras dengan degup jantungku yang kian cepat. Dua laki-laki dihadapanku itu terlihat tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya.

Selamat datang saudaraku..kami tahu sudah lama sekali kau ingin berada disini..” Ujar laki-laki yang menjemputku tadi.

Tugas kami sudah selesai..maaf kami hanya diizinkan untuk mengantarmu sampai disini. Selanjutnya engkau akan ditemani oleh utusan yang lain” laki-laki kedua pun berbicara.

Aku pun disambut oleh seorang laki-laki lain. Pakaiannya berbeda dengan dua laki-laki sebelumnya. Warnanya yang biru langit bergradasi dengan merah menimbulkan kesan sangat indah.

Mari kita mulai perjalanannya” sang utusan mulai berbicara. Kuikuti langkahnya. Sambil tak henti-hentinya mengucap asma-Nya..kupandangi pemandangan disekitarku. Ya Rabb..indahnya....Kulihat ada sebuah air terjun menjulang tidak terlalu tinggi. Airnya jatuh dan membentuk aliran teratur dibawahnya. Percikan-percikan airnya yang bersenyawa dengan cahaya disekitarnya membentuk sebuah goresan warna-warni yang indah. Pelangikah itu..oh bukan..itu lebih indah dari pelangi. ”Tempat ini...dimanakah aku sekarang..siapa orang-orang ini ?...” benakku. Seperti merasakan kebingunganku, sang utusan berkata ”Dua laki-laki yang menjemputmu tadi...mereka malaikat penjaga pintu masuk tempat ini. Mereka hanya ditugaskan untuk mengantarmu sampai pintu masuk”.

Degg. Langkahku terhenti mendengar penuturannya. Sang utusan itu menoleh padaku. ”kenapa...jangan takut...ayo..aku ingin mempertemukan kamu dengan beberapa orang..kamu pasti suka”. Masih tidak percaya dengan ucapannya, perlahan kulanjutkan perjalanan yang tidak biasa ini. Malaikat...benarkah?. Belum jauh aku melangkah, ada sekumpulan wanita-wanita muda yang sedang asik bercanda dan tertawa ringan. Sigap kupalingkan wajahku. Namun pandangan sekejap tadi sudah cukup berbekas. Paras-paras cantik serta pakaian yang indah mengusik hatiku. Astagfirullah...astagfirullah...maafkan Afghan ya Rabb..maafkan Afghan..”. Sudah kutekadkan bahwa menjaga pandangan adalah amalan andalanku. Kuberikan ibadah ini sebagai maharku pada Sang Kekasih. Berharap Ia akan ridha dengan ibadahku. Seakan tahu apa yang sedang kupikirkan sang utusan itu berkata: ”Itulah kelebihan yang akhirnya mengantarkan kamu bisa sampai disini” ucapnya.”Jika kau bisa istiqomah..bidadari-bidadari itu akan menjadi milikmu...Insya Allah..akan ku pertemukan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu” lanjutnya. Seperti aku? Bidadari ? apa maksudnya.

Lamat-lamat kudengar suara hentakan kaki kuda yang berderu dengan tanah lembut. Sosok pengendara kuda itu semakin lama semakin mendekat. Tiba-tiba sang utusan mengajakku berlari kecil..menghampiri sang penunggang kuda, ’Ayo akhi..kamu tidak akan menyesal bertemu dengannya...”. Setelah berhadapan dengan sang penunggang kuda, tak kuduga dia langsung memelukku seraya mengatakan betapa dia sangat bahagia bisa bertemu denganku. Ketidaktahuanku akan apa yang sebetulnya terjadi membuatku diam. ”Semoga Allah Ta’alla selalu menjagamu seperti engkau telah menjaga-Nya” ucapnya. Belum sempat aku berkata-kata, sang utusan sudah mengajakku pergi. ”Masih ada yang harus kau temui...ayo...”. Kulangkahkan kaki ini kembali, sejenak kumenoleh kebelakang. Sosok berkuda itu sudah berada lagi diatas kudanya, masih memandangku sambil tersenyum.

Dia Rabi bin Khaitsam” sang utusan memperkenalkan, sambil terus berjalan. ”Siapa...Rabi bin Khaitsam ?!” setengah tidak percaya aku bertanya pada sang utusan. Benarkah apa yang baru saja aku dengar. Benarkah aku baru saja bertemu dengan Rabi bin Khaitsam. Murid dari Ibnu Mas’ud. Lelaki shalih yang sangat menjaga matanya dari hal-hal yang Allah haramkan. Dua puluh tahun ia menimba ilmu dari sang guru. Selama itulah, pembantu dari Ibnu Mas’ud menyangkanya sebagai orang buta karena kebiasaannya yang suka menundukkan pandangan. Kurasakan mata ini mulai menghangat. ”Allah...Allah...pantaskah hamba mendapatkan kehormatan ini, bertemu dengan hamba-Mu yang begitu shalih”. Diri ini tidak pantas jika disamakan dengan Rabi bin Khaitsam. Kesekian kalinya kupandangi wajah sang utusan yang masih terus berjalan santai, kudapatkan ia pun memandangku sekilas sambil tersenyum. Terucap dalam hati, ”Siapapun kamu, terima kasih telah mempertemukan aku dengan Rabi bin Khaitsam”.

Udara disekitar yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas membuatku selalu segar. Perjalanan yang cukup jauh kulalui tidak membuatku lelah sedikitpun. Keterkejutan juga kebahagiaan bertemu dengan Rabi bin Khaitsam belum juga hilang. Ditengah perjalanan, kutemui sebuah pohon besar. Sangat besar bahkan. Kuduga satu daunnya saja pasti bisa membungkus seluruh tubuhku.” Tunggu akhi...” cegat sang utusan tiba-tiba. Dia merapatkan dirinya di batang pohon besar tersebut, seperti hendak bersembunyi dari sesuatu. Dia memberi aba-aba agar aku mendekatinya, ikut bersembunyi.

Ada apa ?.. kenapa kita bersembunyi?” tanyaku.
Dia ada disana..” sang utusan itu menunjuk ke suatu padang rumput luas dibalik pohon besar tempat kami bersembunyi.
Siapa...siapa orang yang ada di padang rumput itu” tanyaku lagi sambil masih bersembunyi. Sang utusan menjawab ”Dia disana...dia orang kedua yang akan kau temui”.

Tunggu disini, kan kutemui dia terlebih dahulu” perintah sang utusan. Sang utusan keluar dari tempat persembunyiannya. Rasa penasaran membuncah dari hatiku. Siapakah orang kedua itu. Penasaran, kuintip apa yang dilakukan sang utusan itu. Aneh, utusan itu sudah tidak terlihat lagi. Kemana dia pergi. Padang rumput dibalik pohon ini begitu luas dan terbentang jelas. Siapapun yang berdiri di padang rumput ini pasti terlihat oleh mataku, walaupun jauh. Kuberanikan diri untuk mengeluarkan kepalaku seluruhnya dari balik pohon ini, berharap dapat dengan lebih jelas melihat dimana sang utusan tadi berada.

Namun tiba-tiba, “Akhiii..!!” sebuah tepukan serta suara dari arah belakangku. Sedikit terlonjak karena kaget, aku menoleh kebelakang. Sang utusan tadi berdiri bersama seorang laki-laki berwajah teduh. Mereka tertawa sedikit keras. Menertawakanku.

Maafkan jika mengagetkanmu..dia hanya ingin sedikit bercanda denganmu” kata sang lelaki berwajah teduh.
Kamu tidak perlu bersembunyi... tidak akan ada yang menyakitimu disini” ucapnya lagi.
Saya Utsman bin Affan” lelaki itu menyodorkan tangannya.

Mataku terbelalak. Bibirku kelu. Gemetar, kusambut tangannya. Ingin berkata tapi tak mampu. Benarkah ini. Benarkah sosok lelaki teduh dihadapanku ini adalah Utsman bin Affan. Masih teringat akan perburuanku kemarin akan sejarah sosok-sosok lelaki shalih telah mempertemukan aku dengan tulisan tentang Utsman bin Affan. Khalifah ketiga yang sangat begitu menjaga auratnya. Sifat pemalunya yang mengagumkan, membuat para malaikat malu jika bertemu dengannya. Dan saat ini..aku berdiri dihadapannya.

Akhi...jaga terus pandangan antum, jaga ia baik-baik...insyaAllah kita berdua akan menghabiskan waktu bersama disini” laki-laki itu yang memperkenalkan diri sebagai Utsman bin Affan berpesan. Belum puas aku bertemu dengan Utsman, sang utusan sudah mengajakku pergi. “Ayo..kita lanjutkan perjalanannya” ajaknya.

Takjub karena baru saja bertemu dengan Utsman, bendungan di mataku sudah tak tertampung lagi. Alirannya deras. “Segala puji bagiMu ya Rabb...Alhamdulillah..”.. “Cukup ya Rabb..ini sudah lebih dari cukup..”. Sang utusan itu memberitahukan bahwa ada satu orang lagi yang ingin bertemu denganku. Jika dua orang yang baru saja kutemui, sudah mampu membuatku merasa sebahagia ini, siapakah lagi orang ketiga ini. Berdua, bersama dengan utusan, kami susuri padang rumput menuju ke tempat orang ketiga itu berada. Siapakah orang ketiga itu? hatiku bertanya.

Tak kusangka, sang utusan menggumamkan sesuatu. Berulang-ulang. Pelan, tapi cukup jelas.

Ya Rahman..Ya Rahim...Ya Latif...
Jadikanlah segala apa yang hamba lihat,
segala apa yang hamba sentuh,
segala apa yang hamba dengar
menjadi sesuatu yang bisa mendekatkan hamba kepada-Mu..
.”

Subhanallah...doa itu. Bukankah itu doa yang selalu kupanjatkan pada Allah, Sang Kekasih. Sang utusan membaca doa yang sama dengan doaku” suara hati kecilku. ”Pernah dengar doa itu akhi..?” tanya sang utusan. Pertanyaan yang lebih terdengar seperti godaan kecil dari sang utusan. Aku cuma bisa tersenyum. Malu. Padang rumput ini menjadi saksi betapa ukhuwah dengan sang utusan ini tak pernah kuharapkan akan berakhir.

Perjalanan ini masih terasa begitu menakjubkan, hingga akhirnya kurasakan sebuah getaran dari padang rumput yang kami injak.

Allahu Akbar...Subhanallah...” sang utusan bertasbih. ”Ada apa ?kenapa tanah ini berguncang..” spontan ku bertanya. Tanah yang kami pijak masih terus berguncang.
Akhi.. maafkan aku.guncangan ini tanda bahwa sekarang waktunya untuk pulang” jawab sang utusan.
Tapi..tapi aku belum bertemu dengan orang ketiga yang kau katakan tadi”.

” Kau bisa menemuinya kelak jika kau bisa sampai kesini lagi”

”Ingat apa yang dikatakan Rabi dan Utsman tadi. Itu yang bisa membawamu kembali kesini”.

Dengan cepat sang utusan itupun mendekap tengkuk dan menutup mataku, sama dengan yang dilakukan dua laki-laki yang menjemputku. Sedetik kemudian.





© 2006 deepheart | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health