Rindu Bapak
Sebelum aku menuliskan apa yang aku pikirkan tentang Bapak,
aku ingin mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah menghadirkan
laki-laki hebat itu dalam hidupku.
Dalam hidupku, aku lebih sering memanggilnya dengan panggilan Bapak. Entah kenapa, yang pasti ketika aku sadar bahwa aku lahir dari benihnya aku bisa memanggilnya dengan sebutan itu. Atau karena kakak-kakakku yang mencontohkan bagaimana cara memanggil dirinya.
Satu pagi dalam hidupku.
Aku ingat sekali berapa umurku saat itu. Enam tahun, iya enam tahun. Hari pertama aku mengalami ujian sekolah di kelas 1 Sekolah Dasar. Ini ujian sekolah pertama dalam hidupku, dan Bapak mengantarku ke sekolah hanya karena aku begitu takut menghadapi ujian sekolah.
Satu siang dalam hidupku
Kuingat aku pernah diajak olehnya ke suatu tempat. Umurku kira-kira 10 tahun. Di sana aku melihat Bapakku bergabung dengan laki-laki dewasa lainnya. Mungkin bapak-bapak yang lain. Mereka duduk melingkar, salah seorang berbicara dan yang lain mendengarkan, termasuk Bapakku. Setelah itu tidak ada yang kuingat lagi apa yang terjadi lingkaran manusia itu, hanya perjalanan pulang dengan bapakku yang masih kuingat. Di perjalanan pulang -dengan vespa yang Bapak biasa pakai untuk pergi ke tempat kerja- kami melaju. Ternyata Bekasi-Jakarta cukup jauh juga jika ditempuh dengan vespa. Cukup lama waktu yang kami jalani untuk pulang. Buktinya aku tertidur beberapa kali di atas vespa dan bangun saat masih dalam perjalanan. Terima kasih pada pinggang Bapak, tempat berpegangan yang membuat aku tidak jatuh dari vespa.
Satu sore dalam hidupku.
Bapak marah besar padaku. Bapak dapat laporan dari guru ngajiku bahwa aku tidak serius di mushalla. Setiap kali berada di mushalla dekat rumah tempat aku belajar mengaji, tak ada yang aku lakukan kecuali bercanda atau mengganggu peserta putri. Sebenarnya ngaji di mushalla tidak terlalu menjadi kebutuhan dalam hidupku, toh tiap malamnya ibuku selalu mengajarkan bagaimana membaca al-Qur’an. Mungkin Bapak mengirimku kesana dengan tujuan yang lain.
Tidak mengenakkan sekali mendengar suara Bapak marah.
Sore lain dalam hidupku.
Umurku sudah 12 tahun. Aku dan bapakku sedang diatas rumah. Bapak memintaku untuk membantunya merenovasi atap rumah. Ya, alhamdulillah dengan rezeki yang Allah berikan Bapak bisa sedikit merenovasi rumah. Saat itu tak ada yang aku harapkan kecuali agar pekerjaan ini bisa cepat selesai, hanya karena ada film kesukaanku yang diputar sore ini. Sepertinya bapak bisa membaca pikiranku.
Satu malam dalam hidupku
Mungkin malam ini adalah malam paling monumental dalam umurku yang saat itu sudah 16 tahun. Dua tahun sudah Bapak mengalami komplikasi liver.. Dan aku pun sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa apa yang Bapak hadapi adalah sesuatu yang berat. Menjelang Isya, Bapak memanggilku. Bapak memintaku untuk membacakan surat yasin untuknya setelah shalat isya nanti. Aku mengiyakannya tanpa berfikir akan ada sesuatu yang akan terjadi. Tepat saat aku tiba di rumah ba’da shalat isya, saat bersiap-siap untuk menunaikan janjiku pada Bapak. Aku lihat Ibu dan kakak tertuaku duduk di samping Bapak yang terbaring. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, yang aku lihat hanyalah perlahan tubuh Bapak semakin pucat mulai dari kaki menjalar sampai tubuh bagian atas. Dengan sabar ibuku menuntun Bapak untuk mengucapkan kalimat syahadat. Ini pertama kalinya aku melihat bagaimana seorang manusia menghadapi kematiannya. Dan Allah memberikan pelajaran itu lewat Bapakku.
Bapak meninggal, dengan meninggalkan aku yang belum sempat menunaikan janji.
Ya Rabbi...
Ya Gofur...
Ya Latif...
Ampuni segala dosa dan kesalahan kedua orangtuaku.
Sayangi mereka melebihi rasa sayang mereka padaku disaat aku masih kecil.
0 Responses to “”